Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

27 Maret 2009

Panggilan Sayang

Terisnpirasi sepotong dialog antara ustadz Rahmat Abdullah dan istrinya dalam film Sang Murobi, di situ diceritakan bahwa ustadz Rahmat yang barusan menikah memanggil isrinya "Nai...",sehingga membuat kaget sang istri yang mamiliki nama sebenarnya Sumarni bukan Sumarnai. Akhirnya kekagetan itu berubah menjadi senang setelah dijelaskan bahwa "Nai.." itu panggilan sayang sang ustadz untuk dirinya....
Setelah melihat film tersebut, istriku pun menuntut agar aku juga mempunyai panggilan sayang untuk dirinya...Waduh..mulai bingung lagi nih aku, karna dulu di awal pernikahan kami dia juga pernah mengajukan permintaan yang sama, dan sampai sekarang aku belum juga menemukan panggilan sayang yang pas buat istriku tercinta. Pernah di awal nikah dia minta dipanggil "...nduk". tapi aku ngrasa aneh, jadi kupanggil dia "..dek" dan dia manggil aku "..mas" (jawa banget ya). Dan selama itu dia tetep nagih panggilan sayangnya, pernah juga dia minta dipanggil "dinda" dan dia manggil aku "...nda" (kanda), tapi aku gak mau, " kayak panda aja".

Perburuan n perdebatan panggilan sayang masih tetep berlangsung hingga menjelang kelahiran anak pertama kami. Saat itu ia nanti ingin di panggil Ibu dan aku Bapak, tapi aku nggak mau "pasaran banget, nanti apa bedanya dengan bapak-ibu guru?", tolakku.
Kemudian dia mengalah, dan mengajukan nama panggilan "Bunda"....Aku menolak mentah-mentah,emang sih kedengarannya bagus,tapi aku jadi jijik jika ingat "Bunda Dorce"... hi.....na'udcubillah....begidik aku...akhirnya ia mengalah..
Akhirnya dia nyerah, dan menyerahkan kepadaku untuk menentukan panggilan sayang, karena dari awal saya sudah mengusulkan "Abi-Umi"...seperti kebanyakan temen-temen aktifisku dipanggil oleh anak-anaknya. Karena bagiku panggialn Abi-Umi bukan sekedar panggilan sayang, tapi itu menunjukkan identitas kami sebagai keluarga muslim (gak mungkinkan non-muslim dipanggil Abi-Umi). Aku ingin anakku bangga dengan identitasnya sebagai seorang muslim. Walaupun kelihatan pasaran banget...gak papa..
Ternyata permasalahan panggilan sayang belum juga selesai di situ. Sekarang kami masih mempermasalhkan panggilan sayang untuk anak laki-laki pertama kami. Saya menyarankan agar dia dipanggil "Mas...". Alasan saya :
1. Dia anak laki-laki pertama
2. Kami orang jawa (biar nggak ilang jawane)
3. Terdengar lebih akrab
4. Memperjelas gendernya (laki-laki)
Tapi dia menolak dengan alasan yang gak jelas, katanya "Pokoknya aku ingin dia dipanggil kakak...". Saya tetep menolak, karena ia tidak punya alasan yang kuat, selain itu panggilan kakak terlalu umum dan formal (misal: kakak kelas, kakak senior, kakak pembina.dll) serta tidak menunjukkan gender yang jelas (laki-laki dan perempuan sama-sama dipanggil kakak).
Tapi akhirnya aku mengalah dan terpaksa menyetujui panggilan "Kakak" untuk anak pertama kami, setelah dia mengelurkan kata-kata pamungkasnya. " Bi, Umi sudah nurut dipanggil umi. Sekarang Abi harus gantian menyetujui pendapat umi dong!!!".....