Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

13 Juni 2015

4 Pelukan.... Bontang




Pertama kali aku menghirup udara Bontang aku belum mampu mengingatnya, karena menurut orangtuaku mereka pindah dari Samarinda setelah aku berumur sekitar satu bulan. Kepindahan mereka ke Bontang diawali dari kondisi ekonomi mereka saat aku masih di kandungan sangat memprihatinkan, sampai-sampai untuk menebusku di rumah sakit bapak harus jual rombong es punya adiknya. Kain yang untuk membungkuskupun dimintakan dari jarik milik pasien lain. Bapak hijrah ke bontang meninggalkan kakak dan mamak yang sedang mengandungku di Samarinda. Saat itu bapak melihat orang-orang yang jual jamu dan sol sepatu di Bontang hidupnya jauh lebih enak.

Kami mengontrak rumah di berbas. Bukan rumah dalam arti sebenarnya, namun sebuah bedengan kecil yang harus berbagi dengan beberapa keluarga lain. Rumah panggung dari kayu yang memanjang. Di dalamnya hanya ada sebuah dapur bersama dan ruang tamu kecil dan sisanya dibagi mejadi bedengan kamar. Jangan bayangkan ada kursi dan perabot rumah, inilah rumah “minimalis” yang sebenarnya. Tidak ada sumur dan wc. Yang ada wc umum di luar yang bisa dipakai satu RT. Air minum dan mandi dibeli dari penjual air keliling yang membawanya dengan grobak.

Pada awal tahun 80-an Berbas pantai adalah jantungnya kota Bontang saat itu. Pusat keramaian ada di sana. Pertokoan-pertokoan besar, pasar induk, dan tempat hiburan ada di Berbas Pantai. Di sinilah ibu harus membagi tugas dengan bapak antara berdesakan mencari uang dan mengasuh kami. Bapak “ngesol” sore saja. Karena paginya bapak bertugas menyiapkan jamu yang akan dijual ibu hari itu. Semakin lama jam kerja mamak semakin bertambah. Awalnya hanya jual jamu pagi sampai siang, namun karena semakin laris dan Berbas masih ramai sampai larut malam, maka mamak memutuskan keliling sampai malam. Keadaan ekonomi kamipun mulai membaik. Bapak mulai bisa mencicil hutang-hutangnya. Bapak juga bisa menyewa tanah untuk rumah kami.

Seiring semakin membaiknya perekonomian keluarga semakin sibuklah orangtua kami, terlebih mamak. Mamak sejak pagi sudah keliling menjajakan jamunya, siang pulang sebentar untuk makan siang kemudian balik lagi berjualan hingga larut malam. Mamak tidak sempat pulang karena jamunya diantarkan bapak ke Prakla. Prakla semain larut malam semakin ramai, karena di situlah pusat hiburan dan lokalisasi terbesar di Bontang saat itu. Kamipun semakin tidak terurus, sampai-sampai kakakku mandi minyak tanah hingga rambutnya rontok karena tidak ada yang mengawasi. Maka kami dipulangkan ke rumah nenek di Sukoharjo, Jawa Tengah. 

Untuk kedua kalinya aku menginjakkan kaki di kota bontang. Aku sudah mulai bisa mengingat, karena tahun 1989 itu aku berumur 6 tahun. Namun saya tidak bisa mengingat persis kapan tanggalnya. Aku kembali ke bontang karena merengek minta disekolahkan TK. Saat itu saya sudah sering ikut kakak perempuanku sekolah SD di Jawa. Saya sering dengar dari teman-teman kakakku kalau sekolah di TK enak. Ada ayunannya, ada perosotannya, dan banyak mainan seru lainnya. Karena aku merengek terus dan tidak ada TK di daerah dekat rumah nenek, maka akupun di bawa ke Bontang. 

Semua bayangan tentang sekolah TK buyar saat aku diantar bapak ke salah satu TK yang paling dekat. Di sana tidak ada ayunan, tidak ada perosotan, tidak ada lapangan luas dengan rumput tebal. Yang ada hanya sebuah bangunan kayu di atas empang yang dibagi menjadi 3 sekat. Sekatnya bukanlah dinding kayu, namun sekat portable dari triplek. Jadi kami bisa berlarian bebas ke ruang sebelah maupun “kantor”. Bangunan itu ditopang oleh kayu-kayu ulin panjang yang diempeli banyak tiram. Bau anyir empang menusuk hidung. Namun seminggu setelahnya bau ini hilang, entahlah hilang karna hidungku yang sudah terbiasa atau memang benar-benar hilang. Yang kuingat aku sudah tidak terganggu lagi dengan bau itu. Jika laut sedang pasang, airnya hampir menyentuh lantai kelas. Kami sering bermain kapal-kapalan saat seperti itu. Untuk menuju sekolah ini kami harus melewati jalan kayu yang menurun curam, aku sering terpelest jika “jalannnya” basah karena hujan. Mainan kami adalah balok-balok kayu dari sisa-sisa pembangunan sekolah ini, atau kursi yang biasanya kami susun terbalik dan kami jadikan robot-robotan. Aku mulai terbiasa dengan semua keterbatasan itu. Aku tidak pernah merasakan TK nol kecil, karena usiaku yang sudah 6 tahun dan akupun juga sudah bisa membaca dan menulis, maka aku langsung diterima di kelas nol besar. Aku hanya enam bulan sekolah di sini. Karena aku mendaftar di awal semester kedua. 

Aku memiliki banyak teman dari lingkungan rumah kami. Rata-rata teman mainku lebih tua dariku, mereka sudah SD. Semua temanku bernasib sama denganku, sering ditinggal jualan orang tuanya. Aku sering main dengan mereka hingga larut malam tanpa takut dimarahi orang tua kami, karena merakapun masih sibuk jualan hingga larut malam. Hidup bebas di pusat keramain saat usia TK membuatku jadi “liar”. Aku sering berkelahi dan mengganggu orang, itu kami anggap permainan yang seru. Aku sering diadu dengan anak-anak pasar. Aku merasa bangga jika bisa membuat anak lain menangis. 

Karena lingkungan yang keras inilah mungkin yang menjadi alasan kedua orang tuaku memulangkanku kembali ke rumah nenek. Namun aku sangat senang karena diajak naik pesawat. Bagiku naik pesawat adalah sesuatu yang baru dan menyenangkan. Karena menurut cerita orang-orang yang pernah naik pesawat, mereka mendapat bermacam-macam souvenir, seperti payung, gantungan kunci pesawat, stiker, tisu wangi dan tentunya makan siang. 

Untuk ketiga kalinya aku kembali ke Bontang. Itupun terjadi secara tiba-tiba dan spontan. Aku tertarik ke bontang karena saat itu diberitakan di TV marchinband pupuk kaltim menjuarai granprix untuk kesekian kalinya. Dan mamak juga cerita mengenai STM Pupuk. Aku pikir jika marchinband itu adalah ekskul STM Pupuk, kalau ekskulnya saja sehebat itu, apalagi sekolahnya. Maka sepontan saya jawab mau daftar ke STM pupuk saat mamak menanyakan kemana saya melanjutkan sekolah setelah lulus SMP. 
Kelas 1 STM (1998)

Aku tidak menyangka perjalanan darat Balikpapan-Bontang sangat berat dengan pemandangan yang mengerikan. Di kanan-kiri hanya ada pemandangan hutan yang habis terbakar, bahkan masih ada yang mengepulkan asap. Saat itu memang sedang terjadi kemarau panjang yang menyebabkan kebakaran hutan yang hebat di pertengahan tahun 1998. Perjalanan ini tidak seperti yang aku bayangkan, karena dulu tahun 1989 perjalananku dari Bontang ke Balikpapan melalui laut, karena belum ada jalan darat dari bontang ke Samarinda. Perjalanan lewat laut bagiku sangat menyenangkan karena menyusuri pinggir hutan yang banyak monyetnya. Dari samarinda baru ke Balikpapan naik bis. 

Orangtuaku sudah memiliki rumah sendiri di Berbas Pantai, di Gang Solo. Disebut Gang Solo karena kebanyakan berisi orang-orang dari Solo, sekitar Solo lebih tepatnya. Di gang ini sebagian besar pedangang. Ada yang berjualan jamu, es tong-tong, es potong dan tukang sol sepatu. Dalam kesehariannya kami menggunakan bahasa jawa, maka tak heran anak-anak kecil di gang ini bisa bahasa jawa atau minimal mengerti. 

Lagi-lagi aku terkejut karena Berbas Pantai tidak seramai dulu. Sudah tidak ada lagi took-toko besar itu. Sudah tidak ada lagi lokalisasi di Prakla saat itu, namun masih ada sisa-sisanya. Seperti plang nama diskotik, bekas wisma dan beberapa mucikari yang memang tinggal di situ. Kabarnya lokalisasi ini ditutup oleh pemerintah dan dipindahkan ke kilo 24. Keterkejutanku tidak sampai di situ, teman-teman kecilku sudah “sukses” jadi preman yang keluar masuk penjara dengan berbagai tindak kejahatan. Tidak bisa membayangkan apa jadinya aku jika sembilan tahun sebelumnya aku tidak pindah ke Jawa. Mungkin aku akan lebih “sukses” dari mereka, karena dulu mereka sering kubuat menangis. 

Keterkejutanku ternyata masih berlanjut, STM Pupuk yang jadi incaranku ternyata bukanlah milik pupuk kaltim, tetapi satu-satunya sekolah kejuruan negeri di Bontang dengan tiga jurusan saat itu. Dan tidak memiliki ekskul marchineband. Yang lebih mengecewakannya lagi bangunan sekolah ini jorok minta ampun, lebih parah dari SD-ku di kampung. Sampah berserakan dimana-mana, kaca kelas kusam tidak pernah dibersihkan, dindingnya banyak cap sepatu berbagai ukuran dan merk. Jangan tanya WC-nya, aku lebih memilih menahan hajat-ku sampai pulang ke rumah. Tapi menurut cerita orang-orang di sekitarku sekolah ini termasuk sekolah unggulan. Siswanya datang dari berbagai kota sekitar. Terbukti teman-temanku benar-benar berasala dari berbagai kota, ada yang dari Balikpapan, Samarinda, Sangata, Pir, Muara Badak, dan yang lebih melegakan lagi tidak hanya aku saja yang dari Jawa. Paling tidak tidak hanya aku yang bahasanya “medhok” di kelas. 

Tahun-tahun awal sekolah aku masih belum bisa menerima kondisi sekolah yang katanya unggulan ini, bukan hanya karena kondisi fisiknya namun juga proses belajar mengajarnya. Karena masih kekurangan ruang kelas, maka kami yang kelas satu harus masuk siang. Sungguh tidak nyaman bagiku belajar di siang hari dengan kondisi yang selalu panas. Lokasi sekolah yang tidak dilewati kendaraan umum membuat kami harus berjalan kaki di siang bolong sejauh hamper dua kilo meter. Jika beruntung kami dapat tebengan dari pengendara mobil maupun motor yang lewat di jalan itu. Tidak heran temen-temen sering menyebut kepanjangan STM adalah Sekolah Tebeng Menebeng. 

Aku juga dipusingkan dengan cara ngajar beberapa guru yang “unik”. Ada salah seorang guru sejarah yang cara ngajarnya unik, yang dijelaskan di depan kelas mungkin lebih cocok disebut pelajaran “melawak”. Bahkan soal ulangannyapun juga unik, ada soal yang menanyakan “berapa kedalaman Sungai Gangga? Berapa jumlah ikannya? Siapa pak RT-nya? Dan berbagai pertanyaan absurd lainnya. Saya sempat melaporkan ke wali kelas kami soal ini, tapi wali kelas kami hanya tersenyum penuh arti. Belakangan baru saya ketahui wali kelasku ternyata istri dari guru “unik” tadi. 

Entahlah mungkin karena buntu harus melapor ke siapa, aku pernah berbuat nekat. Saat ujian semester aku nekat memasukkan soal ujian yang dibagikan ke laci tanpa melihat isi soalnya, yang kulihat hanya berapa jumlah soal tersebut. Karena semua soal adalah pilihan ganda aku langsung mengisi lembar jawab secepat mungkin. Hingga tidak ada lima menit aku keluar kelas sambil membawa soal tadi. Semua teman-temanku kaget melihatku cepat sekali keluar, padahal itu adalah mata pelajaran tersulit bagi kami. Aku membawa soal itu ke ruang guru, kudatangi guru mata pelajaran itu di mejanya. Kuletakkan soal itu di meja kerjanya. Kuminta dia mengerjakan beberapa soal yang ada di situ saat itu juga. Karena kami tidak pernah tahu cara mengerjakan yang benar seperti apa, dia tidak pernah memberi contoh maupun membahas soal-soal latihan yang diberikannya. Itulah yang membuat kami merasa mata pelajaran ini yang paling susah, karena tidak pernah ada contohnya. Namun beliau terus mengelak dan beralasan harus pergi karena ada keperluan. 

Selain ada guru-guru yang unik, ternyata masih ada guru-guru yang hebat kutemui. Akupun juga sangat nyaman dengan teman-temanku, terlebih teman-teman di organisasi ROHIS. Di sinilah aku mulai belajar terlibat berorganisasi. Belajar memperbaiki bacaan Quran, belajar menterjemahkan Quran, dan belajar mengadakan acara-acara keagamaan. Selain di sekolah di masjid dekat rumah aku juga mulai terlibat di kegiatan Ikatan Remaja Masjid (IRMA). Anak kampung yang medok ini mulai berani tampil di depan. Aku yang dulu sering dibully karena bau jamu dan tangannya berwarna kunig karena sering menumbuk kunyit jadi lebih PeDe. Hingga rasanya berat banget saat harus meninggalkan Bontang untuk kuliah ke Jawa. Sehingga aku lebih memilih kuliah di tanah kelahiranku, Samarinda. 

Untuk keempat kalinya aku kembali ke Bontang, kali ini aku kembali ke Bontang untuk bekerja. Sebenarnya saya masih ragu ketika memutuskan untuk bekerja karena baru sembilan bulan aku kuliah. Saat mengumpulkan berkas lamaranpun sebenarnya hanya karena menemani teman yang dari Balikpapan, karena dia menginap di rumahku. Namun saat ada paggilan tes yang pertama kali, niatkupun untuk uji coba saja. Karena ini adalah perusahaan besar yang terkenal sulit tes masuknya. Hitung-hitung ngetes kemampuan langsung dan gratis. Perasaan bingung juga menghantui saat ada panggilan medical test. Aku sedikit trauma saat mengikuti tes kesehatan ini.



Tulisan ini belum selesai sesuai maindweb yang kubuat.... semoga bisa melanjutkannya...

10 komentar:

  1. Bagus sekali pk sugeng,jd kebawa masa lalu :)

    BalasHapus
  2. Trimakasih mas Dhio... salam kenal...

    BalasHapus
  3. Keren mas.. penuh liku liku, hehe.. ditunggu lanjutannya

    BalasHapus
  4. Trimakasih win... masalahx itu... kapan mo nglanjutin lagi... xixixi

    BalasHapus
  5. kerreen mas... bagus banget klo dibuat novel.. tentunya dengan ditambah bumbu-bumbu tambahan :D

    BalasHapus
  6. Kangen STM, kos suari hikhikhiks

    BalasHapus
  7. pak tahir ya yg dimaksud wali kelasku he..he..he

    BalasHapus